Rabu, 17 November 2010

Arsitektur dan Lingkungan

Integrasi Multi Bencana Dalam Tata Ruang

Rentetan bencana yang melanda negeri ini seakan tak kunjung berhenti, seperti antri menunggu giliran, mulai dari banjir bandang, banjir genangan, angin puting beliung, letusan gunung api, maupun bencana utama gempa dan tsunami yang telah menciptakan teror bagi sebagian warga negeri ini. Ditambah lagi dengan wabah dan kelaparan, serta bencana akibat gagalnya teknologi skala besar, menjadikan kejadian-kejadian bencana di negeri ini semakin lengkap.

Kejadian bencana - baik skala besar maupun skala kecil - seharusnya dijadikan bahan pembelajaran untuk kejadian-kejadian bencana lainnya. Terlepas dari besar atau kecil sebuah kejadian bencana, kehadirannya tetap akan menyengsarakan masyarakat, merusak lingkungan dan jelas ini akan menyedot anggaran negara yang sangat besar. Masih segar dalam ingatan kita kejadian bencana gempa dan tsunami di Aceh Dan Nias pada tahun 2004/2005, 2006 tsunami di Pangandaran dan pada tahun yang sama Gempa yang merontokkan Provinsi DI.Yogyakarta dan Jawa Tengah, kemudian kejadian banjir tahun 2007 di aceh tengah, aceh utara, sigli, pidie dan lhoksuemawe menyebabkan ratusan ribu warga negara mengungsi. Dan yang baru-baru saja terjadi tahun 2009 gempa yang cukup kuat merontokkan Kabupaten Tasikmalaya dan seterusnya, serta tak terhitung banyaknya kejadian longsor, kebakaran hutan di wilayah Indonesia.

Sudah menjadi kecenderungan umum bahwa perencanaan dan pengambilan keputusan seringkali mengabaikan faktor bencana pada pemanfaatan ruang, khususnya dalam proses penetapan peruntukan lahan. Di banyak instansi, informasi yang berkaitan dengan keberadaan suatu potensi bencana geologis tidak pernah dipublikasikan secara terbuka kepada masyarakat atau apabila dipublikasikan tidak pernah sampai diketahui oleh para pembuat keputusan. Padahal suatu keputusan akan bermanfaat bagi masyarakat apabila didasarkan atas data dan informasi yang lengkap, akurat dan dalam bentuk yang mudah dipahami.

Mengacu pada UU no 26 tahun 2007, pasal 5 ayat 2, dijelaskan bahwa penataan ruang harus memasukkan kawasan rawan bencana, serta diperkuat oleh UU no 27 tahun 2007 pasal 7 ayat 3 mengamanatkan pemda wajib menyusun perencanaan zonasi wilayah pesisir yang berbasis mitigasi bencana.

Pada dasarnya Tata Ruang adalah salah satu bentuk kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan wilayah/kota yang mencakup 3 proses utama; perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang pasal 1 (5) UU No 26/2007). Fungsinya menciptakan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Begitu strategisnya fungsi penataan ruang, tidak aneh kalau banyak oknum yang banyak ingin intervensi terhadap penyusunan tata ruang mengingat peluang yang diberikan, tujuan dan fungsi dari tata ruang.


Jika kita cermati, jauh sebelumnya berbagai bencana yang melanda negeri ini, tata ruang sebenarnya sudah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap kejadian bencana yang bisa terjadi di suatu wilayah/kota, hal ini dilakukan dengan menetapkan kawasan lindung bagi daerah yang berpotensi bencana, membatasi pembangunan kawasan permukiman di sepanjang sempadan sungai/pantai/danau serta penetapan ratio bangunan/lantai bangunan (FAR & BCR) terhadap lahan, yang kemudian pasca bencana besar gempa dan tsunami, tata ruang diperkuat dengan mitigasi bencana gempa dan tsunami yang bertujuan mengurangi dampak bencana gempa dan tsunami. Namun dengan semakin meningkatnya frekuensi dan ragam kejadian bencana serta kompleksitas permasalahan yang ditimbulkannya, menuntut semakin kuatnya integrasi multibencana kedalam tata ruang yang bisa memberikan pertimbangan khusus terhadap kerentanan suatu wilayah serta dapat memetakan secara spesifik agar pemanfaatan ruang bisa menyesuaikan dengan kondisi ancaman yang ada.

Integrasi multi bencana secara lebih spesifik akan dijelaskan dalam kajian bencana geologis. Yaitu dalam bentuk konsep perencanaan tata ruang wilayah berbasis mitigasi bencana geologi. Diawali dengan mengkaji kondisi geologinya, baik yang berkaitan dengan potensi sumber daya maupun sumber bencana kondisi geologinya. Selanjutnya adalah penetapan tata guna lahan yang didasarkan atas pertimbangan potensi sumber daya geologi dan kerentanan terhadap bencana geologinya. Hasil dari penetapan lahan kemudian dipakai sebagai masukan dalam proses perencanaan tata ruang wilayah.

Kemudian dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah, strategi penataan ruang harus didasarkan kepada arahan yang jelas dan terarah dalam menetapkan kawasan rawan bencana, kawasan budidaya (permukiman, perdagangan, pusat pemerintahan, pertanian, perkebunan, dll) berbasis bencana geologi, pengembangan buffer zone di kawasan rawan bencana geologi serta pengembangan infrastruktur yang mendukungnya. Hal ini juga perlu disertai dengan pedoman pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan agar masyarakat selalu siap dan waspada apabila sewaktu-waktu terjadi bencana.

Program penataan ruang kawasan pesisir:
  • Menetapkan peruntukan ruang wilayah yang mempunyai tingkat kerentanan terhadap potensi geologi, peruntukan ruang untuk keperluan berbagai fungsi ruang serta infrastruktur yang memadai yang berguna terutama dalam proses evakuasi dan tindakan penyelamatan apabila terjadi bencana geologi.
  • Mendeliniasi wilayah rentan terhadap bencana gempa bumi dengan cara mambuat peta mikrozonasi yang akan menjadi acuan dalam di dalam pembuatan dan penetapan peraturan mengenai konstruksi bangunan (building code), menetapkan mengawasi dan melaksanakan secara konsisten dan kosekuen semua peraturan yang berkaitan dengan kode bangunan.
  • Menetapkan garis sempadan pantai, yang diukur dari air pasang tertinggi terhadap jarak minimal kawasan permukiman.
  • Mendeliniasi wilayah rentan terhadap bahaya banjir baik siklus banjir tahunan, lima tahunan, sepuluh tahunan, hingga banjir 25 tahun dan disertai dengan peraturan yang berkaitan dengan konstruksi bangunan dan infrastrukturnya, termasuk wilayah rentan terhadap tsunami dengan cara membuat peta zona bathimetry hingga kearah pesisir dan bagian dataran hingga ketinggian 20 meter di atas permukaan laut yang akan menjadi acuan pembuatan dan peraturan daerah mengenai zonasi kerentanan terhadap tsunami.


Sedangkan program penataan ruang kawasan perbukitan harus mempertimbangkan:

  • Menetapkan peruntukan ruang wilayah yang mempunyai tingkat kerentanan terhadap gempa bumi dan longsoran tanah serta peruntukan ruang untuk keperluan berbagai fungsi ruang termasuk infrastruktur yang memadai yang berguna terutama dalam proses evakuasi dan tindakan penyelamatan apabila terjadi bencana geologi.
  • Mendeliniasi wilayah rentan terhadap bahaya geologi dengan cara membuat peta zonasi rentan bencana geologi yang akan menjadi acuan dalam pembuatan dan penetapan peraturan daerah mengenai kode bangunan, melaksanakan dan menetapkan wilayah rentan terhadap bahaya longsoran tanah dengan cara membuat peta kerentanan longsoran tanah dan kestabilan lahan yang akan menjadi acuan di dalam pembuatan dan penetapan peraturan daerah mengenai keamanan terhadap longsoran, menetapkan, mengawasi dan melaksanakan secara konsisten dan konsekuen semua peraturan yang berkaitan dengan kode bangunan terhadap bahaya longsoran tanah.

Pertanyaan untuk diri kita dan seluruh pelaku Rekompak-JRF, apakah analisis kebencanaan yang memperhatikan aspek penataan ruang dan bangunan (RTBL) telah mendapatkan porsi yang cukup intensif dan serius dalam penyusunan RPP (Rencana Penataan Permukiman)?. Dan, sejauh mana masyarakat memahami dan terlibat langsung dalam merencanakan serta melaksanakan penataan lingkungan sendiri menuju permukiman yang lebih baik, sehat dan responsif terhadap bencana. Penting juga untuk dipastikan bahwa dokumen RPP yang disusun itu pada prinsipnya adalah ide masyarakat dan harus disosialisasikan kembali pada masyarakat, sehingga sesuai dengan pendekatan program kita, REKOMPAK yang berbasis komunitas, dari dan untuk masyarakat.


sumber : http://www.rekompakjrf.org/?act=detailartikel&id=20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar