Minggu, 27 November 2011

Bangunan terhadap Lingkungannya

Pembangunan yang terjadi pada zaman ini berlangsung sangat pesat, tumbuhnya kawasan-kawasan industri, perumahan, perdagangan, wisata dan budaya serta gedung-gedung yang tentunya tidak lepas dari peran para arsitek sebagai penggagasnya.

Arsitektur telah dikenal dan dibicarakan oleh manusia sejak dulu. Arsitektur mempunyai berbagai pendapat, pandangan dan pengertian. Louis I. Kahn mengatakan, “Arsitektur adalah pemikiran yang matang dalam pembentukan ruang. Pembaharuan arsitektur secara menerus adalah disebabkan perubahan konsep ruang”. Sedangkan Wlliam Wayne Caudill, mempunyai pendapat lain mengenai arsitektur, yakni “Bentuk dan ruang adalah bukan arsitektur. Arsitektur terjadi hanya bila seseorang sedang menikmati bentuk dan ruang tersebut”.

Sebagai seorang arsitek ada baiknya kita lebih dulu mengetahui tata cara sebelum mengksplorasikan karya kita ke lapangan, untuk mengukur kemampuan sendiri serta nantinya tidak merusak lingkungan sekitarnya. Yaitu :
  1. Perilaku manusia (Human Behavior) : Kepekaan terhadap teori dan metode pertanyaan yang bertujuan memperjelas hubungan antara perilaku manusia dan lingkungan fisik.
  2. Keragaman manusia (Human Diversity) : Kepedulian akan keragaman kebutuhan, nilai, etika, norma perilaku, serta pola sosial dan spasial yang membedakan berbagai kebudayaan, dan implikasi dari keragaman itu untuk peran sosial dan tanggungjawab arsitek.
  3. Tradisi Timur (Eastern Traditions) : Pemahaman tentang aturan dan tradisi Timur dalam perancangan arsitektur, lansekap, dan urban, serta faktor cuaca, teknologi, sosioekonomi dan faktor-faktor lainnya yang telah membentuk dan mempertahankannya.
  4. Pelestarian lingkungan (Environmental Conservation) : Pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar ekologi dan tanggungjawab arsitek dalam hubungannya dengan pelestarian sumber daya dan lingkungan dalam perancangan arsitektur dan urban.
  5. Aksesibilitas (Accessibility) : Kemampuan untuk merancang tapak dan bangunan untuk mengakomodasikan individu dengan kemampuan fisik yang bermacam-macam.
  6. Kondisi tapak (Site Conditions) : Kemampuan untuk menjawab karakter alam dan lingkungan buatan pada tapak dalam pengembangan program dan perancangan proyek.
  7. Sistim lingkungan ruang bangunan (Building Environmental Systems) : Pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar rancangan sistim struktur bangunan, sistem lingkungan, termasuk pencahayaan, akustik dan pengkondisian ruang serta pemakaian enerji.
  8. Sistim pelayanan bangunan (Building Service Systems) : Pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar rancangan sistim pelayanan bangunan, termasuk pemipaan, transportasi vertikal, komunikasi, keamanan dan perlindungan kebakaran.
  9. Integrasi sistim-sistim bangunan (Building Systems Integration) : Kemampuan untuk menilai, memilih dan menyatukan sistim struktur, sistim penutup bangunan, sistim lingkungan, pelayanan dan penyelamatan, ke dalam suatu rancangan bangunan.
  10. Tanggung jawab hukum (Legal Responsibilities) : Pemahaman tentang tanggung jawab hukum arsitek dalam kaitannya dengan kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan masyarakat; hak properti, aturan dalam zoning dan subdivisi; peraturan bangunan, aksesibilitas dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi rancangan bangunan, konstruksi dan praktek arsitektur.
  11. Kepatuhan terhadap peraturan bangunan (Building Code Compliance) : Pemahaman tentang persyaratan dan peraturan bangunan, standar yang dapat diterapkan pada tapak tertentu, termasuk klasifikasi penggunaan, tinggi dan luasan bangunan yang diijinkan, tipe konstruksi yang diijinkan, persyaratan pemisahan, persyaratan penggunaan, alat evakuasi, perlindungan kebakaran dan struktur.
  12. Bahan bangunan dan pemasangannya (Building Materials and Assemblies) : Pemahaman tentang prinsip-prinsip, konvensi, standar-standar, aplikasi dan batasan pembuatan, penggunaan dan pemasangan bahan-bahan bangunan.
  13. Ekonomi bangunan dan pengendalian biaya (Building Economics and Cost Control) : Kepekaan terhadap dasar-dasar pembiayaan bangunan, ekonomi bangunan dan pengendalian biaya konstruksi dalam kerangka proyek perancangan.
  14. Pengembangan detail rancangan (Detailed Design Development) : Kemampuan untuk menilai, memilih, menyusun dan merinci sebagai suatu bagian utuh perancangan, serta menyusun dengan tepat bahan dan komponen bangunan untuk memenuhi persyaratan program bangunan.
  15. Perancangan menyeluruh (Comprehensive Design) : Kemampuan untuk menghasilkan sebuah proyek arsitektur diawali dengan program yang menyeluruh sejak rancangan skematik hingga pengembangan detail termasuk program ruang, sistim struktur dan lingkungan, perlengkapan penyelamatan, dinding-dinding dan elemen bangunan, serta untuk menilai hasil akhir proyek itu sesuai dengan kriteria perancangan.
  16. Penyiapan program (Program Preparation) : Kemampuan untuk menyusun program komprehensif untuk proyek perancangan arsitektur, termasuk menilai kebutuhan pemberi tugas, telaah kritis mengenai presen bentuk, inventarisasi ruang dan persyaratan peralatan, definisi kriteria pemilihan tapak, analisa kondisi tapak, telaah hukum dan standar-standar yang berlaku, penilaian implikasi unsur-unsur tersebut terhadap proyek, serta definisi kriteria penilaian perancangan.
  17. Dokumentasi dan kontrak (Contracts and Documentation) : Kepekaan terhadap berbagai metode penyelesaian proyek, format kontrak jasa yang sesuai, dan tipe dokumentasi yang diperlukan untuk memberikan jasa profesional yang kompeten dan bertanggung jawab.
  18. Pemagangan (Professional Internship) : Pemahaman mengenai peran permagangan dalam pengembangan profesional, serta hak-hak dan tanggung jawab silang antara pemagang dan pembimbing.
  19. Penghayatan peran arsitek (Breadth of the Architect’s Role) : Kepekaan terhadap pentingnya peran arsitek dalam insepsi proyek perancangan dan pengembangan rancangan, administrasi kontrak, termasuk pemilihan dan koordinasi disiplin ilmu lain, evaluasi setelah penggunaan dan manajemen fasilitas.
  20. Kondisi masa lalu dan akan datang (Past and Present Conditions for Architecture) : Pemahaman tentang perubahan-perubahan yang terjadi karena pengaruh sosial, politik, teknologi, dan ekonomi -masa lalu dan masa kini- atas peran arsitek terhadap lingkungan binaan.

Sabtu, 05 November 2011

Perjanjian


Pranata pembangunan bidang arsitektur merupakan interaksi/hubungan antar individu/kelompok dalam kumpulan dalam kerangka mewujudkan lingkungan binaan.

Interaksi ini didasarkan hubungan kontrak. Analogi dari pemahaman tersebut dalam kegiatan yang lebih detil adalah interaksi antar pemilik/perancang/pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang/bangunan untuk memenuhi kebutuhan bermukim. Dalam kegiatannya didasarkan hubungan kontrak, dan untuk mengukur hasilnya dapat diukur melalui kriteria barang public.

Dalam penciptaan ruang (bangunan) dalam dunia profesi arsitek ada beberapa aktor yang terlibat dan berinteraksi, adalah pemilik (owner), konsultan (arsitek), kontraktor (pelaksana), dan unsur pendukung lainnya.

Keterkaitan antar aktor dalam proses kegiatan pelaksanaan pembangunan mengalami pasang surut persoalan, baik yang disebabkan oleh internal didalamnya dan atau eksternal dari luar dari ketiga fungsi tersebut. Gejala pasang surut dan aspek penyebabnya tersebut mengakibatkan rentannya hubungan sehingga mudah terjadi perselisihan, yang akibatnya merugikan dan/atau menurunkan kualitas hasil , dari interaksi dalam penciptaan ruang (bangunan) seorang konsultan (arsitek )


Tiga yang harus diketahui dalam mendefinisikan suatu perjanjian:
  1. adanya suatu barang yang akan diberi
  2. adanya suatu perbuatan dan
  3. bukan merupakan suatu perbuatan
Dalam melakukan Perjanjian sah harus disyaratkan pada :
  1. Bebas dalam menentukan  suatu perjanjian
  2. Cakap dalam melakukan suatu perjanjian
  3. Isi dari perjajian itu sendiri
  4. Perjanjian dibuat harus sesuai dengan Undang - Undang yang berlaku

Seorang pemilik perusahaan memberikan pinjaman kepada pegawai, dan si pegawai tidak bisa memenuhi kewajibannya dalam membayar utang maka yang sipemilik perusahaan dapat melakukan tuntutan dengan 3 cara :
  1. Parade Executie (melakukan perbuatan tanpa bantuan dari pengadilan yang hal ini kaitannya dengan hakim)
  2. Reel executie (dimana hakim memberikan kekuasaan kepada berpiutang untuk melakukan suatu perbuatan)
  3. Natuurelijke Verbintenis (Secara suka rela dipenuhi/dibayar)
Kelebihan : 

  1. Bagi si pegawai bisa meminjam uang sesuai dengan perjanjian
  2. Perjanjian dengan cara baik2
Kekurangan : 

Bila tidak bisa membayar hutang tepat waktu dengan perjanjian, bisa masuk ke pengadilan.

Contoh :
KONTRAK PELAKSANAAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN MetalCore Hotel 

antara

CV. SAKRAL RAHARJA

dengan 

PT. TERBANG TERBANGAN

Nomor : 20/1041/2004
Tanggal : 10 Mei 2004

Pada hari ini Sabtu tanggal 21 November 2010 kami yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Michael Anchorer
Alamat : Jl/ Tong Kosong No. 74 Jakarta sebelah barat
No. telepon : 085696582211
Jabatan : Engineer
dalam hal ini bertindak atas nama CV. SAKRAL RAHARJA dan selanjutnya disebut sebagai pihak pertama.

dengan

Nama : Suratman TOK
Alamat : jl.Dahlia Mekar no 100 Jakarta 
No telepon : 08951122334455
Jabatan :Direktur
dalam hal ini bertindak atas nama 
PT. TERBANG TERBANGAN dan selanjutnya disebut sebagai pihak kedua.

Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatan kontrak pelaksanaan pekerjaan pembangunan MetalCore Hotel yang dimiliki oleh pihak kedua yang terletak di Jl. Pembetulan 78 Jakarta Timur
Pihak pertama bersedia untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan yang pembiayaannya ditanggung oleh pihak kedua dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal berikut ini :

(Setelah itu akan dicantumkan pasal - pasal yang menjelaskan tentang tujuan kontrak,bentuk pekerjaan,sistem pekerjaan,sistem pembayaran,jangka waktu pengerjaan,sanksi-sanksi yang akan dikenakan apabila salah satu pihak melakukan pelanggaran kontrak kerja,dsb.)

Jumat, 28 Oktober 2011

UU no.4 th 1992 (Hukum Perikatan)

DEFINISI :
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan , dimana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan pihak lain berkewajiban memenuhinya.

EMPAT UNSUR PERIKATAN:
  1. Hubungan Hukum, dari hubungan ini timbul hak dan kewajiban terhadap para pihak.
  2. Kekayaan; maksudnya ukuran-ukuran yang dipakai bisa dinilai dengan uang maupun tidak, namun bila terjadi wanprestasi dan agar rasakeadilan tetap terjaga, akibat hukum berupa konsekwensi material.
  3. Para pihak sebagai subjek hukum yaitu pihak kreditur ( berhak menuntut prestasi) dan pihak debitur (berkewajiban memenuhi prestasi)
  4. Prestasi sebagai objek hukum.
SUMBER PERIKATAN:
1. Terjadi karena undang-undang semata, terlepas dari kemauan pihak-pihak yang bersangkutan.
Contoh:
  1. Lampau waktu.
  2. Kematian.
  3. Kelahiran.
2. Terjadi karena undang-undang sebagai akibat perbuatan orang
Contoh:
  1. Melakukan kesepakatan (perjanjian)
  2. Mengurus kepentingan orang lain secara sukarela
  3. Perbuatan melawan hukum.
 JENIS-JENIS PERIKATAN :

1. Pengelompokan Perikatan 
  1. Perikatan dilihat dari prestasinya
  2. Perikatan dilihat dari subjeknya
  3. Perikatan dilihat dari daya kerjanya
  4. Pembedaan perikatan berdasar undang-undang 
2. Secara Skema 

3. Perikatan Berdasarkan Undang-Undang 
  1. Perikatan Memberikan sesuatu
  2. Perikatan Bersyarat
  3. Perikatan dengan Ketetapan Waktu
  4. Perikatan Manasuka (alternative).
  5. Perikatan Tanggung-menanggung.
  6. Perikatan yang dapat dibagi dan Tidak dapat dibagi 
  7. Perikatan dengan ancaman hukuman.
SYARAT SYAHNYA SUATU PERJANJIAN : 
Untuk syahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPdt diperlukan empat syarat:
  1. Ada kesepakatan diantara mereka yang mengikatkan dirinya
  2. Cakap untuk membuat perjanjian
  3. Mengenai suatu hal tertentu
  4. Suatu sebab yang halal.
CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN :
  1. Pembayaran: dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Dalam hal kasus jual beli misalnya yang dimaksud pembayaran adalah pemenuhan kewajiban masing-masing pihak, pembeli melunasi sejumlah harga tertentu dan penjual menyerahkan barang dalam keadaan baik sebagaimana disepakati.
  2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan atau penyimpanan, Kasusnya sebagai contoh berikut, jika si kreditur menolak pembayaran, maka notaris atau juru sita datang ketempat kreditur menawarkan pembayaran berupa uang atau barang, jika si kreditur tetap menolak, yang bersangkutan diminta menanda tangan berita acara (proses verbal) kemudiaN notaris atau juru sita datang ke pengadilan untuk menitipkaN uang atau barang sebagai pembayaran kepada kreditur tersebut, setelah resmi barang atau uang diterima pengadilan, maka lunaslah kewajiban debitur, selanjutnya terserah kreditur mau diterima atau tidak, dengan menanggung sejumlah biaya tertentu sehubungan dengan barang atau uang yang dititipkan.
  3. Pembaharuan Hutang atau Novasi; menurut pasal 1413 KUHPdt ada tiga macam jalan melakukan pembaharuan hutang yaitu:
    • Membuat perjanjian baru menggantikan perjanjian lama.
    • Seorang berutang baru ditunjuk mengggantikan orang berutang lama, yang oleh kreditur (si berpiutang) dibebaskan dari perikatannya. 
    • Seorang kreditur baru, ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa siberhutang dibebaskan dari perikatannya.
  4. Perjumpaan hutang.atau konpensasi, yaitu cara melusai hutang dengan cara “mempertemukan hutang-pihutang dengan perhitungan” antara kreditur dan debitur, sehingga lunas.
  5. Percampuran utang; bila kedudukan seorang debitur dan kreditur berkumpul pada satu orang. Misalnya dalam kasus terjadi perkawinan dengan percampuran harta antar kreditur dan debitur atau seorang kreditur meninggal dan satu-satunya pewaris adalah debitur.
  6. Pembebasan hutang, yaitu kreditur secara sukarela membebaskan tagihannya dan secara hukum bisa dikatakan lunas apabila si debitur sendiri menerima keputusan kreditur membebaskan hutangnya.
  7. Objek barang terhutang musnah, dengan syarat hilang atau musnahnya barang tersebut diluar kesalahan debitur.
  8. Batal / pembatalan, jika suatu perikatan batal karena dibatalkan atau batal demi hukum maka tidak ada lagi perikatan hukum yang dilahirkan karena pembatalan tersebut..
  9. Berlakunya syarat batal. Dalam hal perikatan bersyarat, maka jika terpenuhi syarat batal dengan sendirinya perikatan hapus.
  10. Lewat waktu ( daluwarsa), pasal 1946 KUHPdt menyatakan, lewat waktu atau daluwarsa adalah upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu, dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

UU no.4 th 1992 (Kasiba dan Lisiba)

KASIBA 
Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana lingkungan, khusus untuk daerah khusus Ibu Kota Jakarta, rencana tata ruang lingkungannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

LISIBA 
Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari kawasan siap bangun ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang.

Peraturan Pemerintah tentang Kasiba &Lisiba :
Merupakan amanat dari UU Nomor 4 Tahun 1992 Pasal 20, yang mengatur tentang:
  1.  Lokasi sebagai operasionalisasi RTRK/K.
  2.  Badan Pengelola/Badan Penyelenggara.
  3. Pembangunan prasarana.
  4.  Pengaturan pembangunan Lisiba/Lisiba BS.
  5. Pengaturan besaran Kasiba/Lisiba.
  6.  Pengaturan waktu pembangunan. 
  7. Pengaturan peralihan.
Tujuan Kasiba & Lisiba :
  1. Mengarahkan pertumbuhan permukiman di kawasan  perkotaan dan perdesaan agar terbentuk struktur kawasan yang efisien dan efektif.
  2. Mengendalikan harga tanah, yang berangkat dari paradigma bahwa lahan bukan hanya komoditi tetapi lahan untuk kepentingan pengembangan sosial ekonomi kota.
  3. Menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau, sekaligus merupakan strategi pembangunan permukiman di kawasan perkotaan sebagai upaya preventif tumbuhnya permukiman kumuh.
Komponen :

a. Kasiba
  1. Rencana Rinci
  2. Rencana Perolehan Tanah
  3. Jaringan Primer dan Sekunder Prasarana Permukiman 
b. Lisiba
  1. Pematangan Tanah
  2. Pembangunan Rumah  
  3. Jaringan Prasarana Lingkungan Permukiman 
Permasalahan Dalam Penyenggaraan Kasiba & Lisiba :
  1. Belum selesainya peraturan dan petunjuk pelaksanaan/ petunjuk teknis pelaksanaan Kasiba dan Lisiba BS.
  2. Masih terbatasnya sosialisasi pelembagaan dan bantuan teknis/pendampingan dalam penetapan lokasi.
  3. Masih terbatasnya dukungan dalam pencadangan tanah untuk Kasiba dan Lisiba BS.
  4. Terdapat banyak lahan dengan status HGB/HPL yang belum dibangun untuk perumahan.
  5. Masih terbatasnya kemampuan penyediaan prasarana (Pusat & Daerah) dalam pengembangan Kasiba dan Lisiba BS.
  6. Koordinasi dengan instansi pendukung seperti PLN, PDAM, BPN, dan Dinas Perhubungan yang masih belum dapat berjalan dengan baik.
  7. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) belum mengakomodasi lokasi Kasiba/ Lisiba BS.
sumber : Deputi Bidang Pengembangan Kawasan, Kementerian Negara Perumahan Rakyat

UU No.4 th 1992 tentang Pemukiman


Penjelasannya..

Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati diri.

Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilikan, setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman harus ditangani secara nasional karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannya harus dikelola dan dikendalikan oleh Pemerintah agar  penggunaan dan pemanfaatannya dapat menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya masyarakat.

Untuk mewujudkan perumahan dan permukiman dalam rangka memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang dan sesuai dengan rencana tata ruang, suatu wilayah permukiman ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder lingkungan.

Penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman mendorong dan memperkukuh demokrasi ekonomi serta memberikan kesempatan yang sama dan saling menunjang antara badan usaha milik negara, koperasi, dan swasta berdasarkan asas kekeluargaan.

Pembangunan di bidang perumahan dan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta.

Di samping usaha meningkatkan pembangunan perumahan dan permukiman perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.

Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan permukiman, Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait antara lain tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan.

Jumat, 30 September 2011

Hukum Pranata Pembangunan

Penyalahgunaan Tata Ruang
Penyebab Terjadinya Tragedi Situ Gintung

Ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia terletak dengan kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumber daya alam yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola.

Pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup.

Menimbang dari hal tersebut ditetapkan Undang-Undang tentang penataan ruang dalam UU No.24/1992 untuk mewujudkan ruang-ruang yang lebih terorganisir.

UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang mengisyaratkan agar setiap kota menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang bagi setiap kegiatan pembangunan.

Walau sudah di tetapkan sebagai undang-undang, namun masi banyak kasus yang terjadi akibat penyalahgunaan tata ruang. Salah satunya yaitu tragedi Situ Gintung.

Bangunan Waduk Situ Gintung yang dibangun 76 tahun yang lalu tepatnya tahun 1932 oleh pemerintah Belanda (ketika masih menjajah) pada saat itu sebagai salah satu alternatif pengairan untuk sawah yang masih banyak tersebar di sekitar Situ. Luas sekitar 21 ha dengan kedalaman berkisar 10 m sehingga sangat potensia untuk menampung air yang digunakan untuk pengairan sawah. Makanya di situ ada spill way (pelimpahan air).

Hal ini jelas menyebutkan bahwa waduk dan sekitarnya merupakan kawasan konservasi sumber daya air yang jika dikaitkan dengan undang-undang penataan ruang merupakan kawasan lindung yang sekitarnya tidak boleh dibangun atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan peruntukkannya.

Namun ternyata areal persawahan di sekitarnya berubah jadi pemukiman, fungsi irigasi waduk Situ Gintung sudah tidak ada lagi. Pada awalnya bangunan waduk dibangun sangat kokoh, namun seiring dengan berjalannya waktu dan kegiatan manusia disekitar waduk yang tidak terkontrol menyebabkan terjadinya kerusakan-kerusakan “kecil” yang sering dianggap remeh. Selain itu dari waktu ke waktu bangunan rumah di sekitar kawasan itu semakin bertambah sehingga luasan Situ Gintung pun kian menyempit. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan dan bangunan waduk, contohnya pada tahun 2005 terjadi kerusakan persis di dekat lokasi bobolnya tanggul Situ Gintung telah dilaporkan oleh warga di sekitar waduk ke Pemda Kabupaten Tangerang. Namun laporan ini ditanggapi tidak serius, bahkan terkesan dibiarkan saja oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Benar adanya, bahwa penyalahgunaan tata ruang dan fungsi peruntukkan lahan (land-use) merupakan salah satu dari berbagai penyebab terjadinya tragedi Situ Gintung. Ini merupakan peringatan bagi kita semua untuk selalu memperhatikan dan mengawasi agar nantinya tidak terjadi penyalahgunaan tata ruang pada masa yang akan datang. Karena akibat dari penyalahgunaan tata ruang sangat merugikan serta membahayakan keselamatan jiwa manusia.

sumber :

Hukum Pranata Pembangunan

Penyalahgunaan Tata Ruang
Penyebab Terjadinya Tragedi Situ Gintung

Ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia terletak dengan kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumber daya alam yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola.

Pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup.

Menimbang dari hal tersebut ditetapkan Undang-Undang tentang penataan ruang dalam UU No.24/1992 untuk mewujudkan ruang-ruang yang lebih terorganisir.

UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang mengisyaratkan agar setiap kota menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang bagi setiap kegiatan pembangunan.

Walau sudah di tetapkan sebagai undang-undang, namun masi banyak kasus yang terjadi akibat penyalahgunaan tat ruang. Salah satunya yaitu tragedi Situ Gintung.

Bangunan Waduk Situ Gintung yang dibangun 76 tahun yang lalu tepatnya tahun 1932 oleh pemerintah Belanda (ketika masih menjajah) pada saat itu sebagai salah satu alternatif pengairan untuk sawah yang masih banyak tersebar di sekitar Situ. Luas sekitar 21 ha dengan kedalaman berkisar 10 m sehingga sangat potensia untuk menampung air yang digunakan untuk pengairan sawah. Makanya di situ ada spill way (pelimpahan air).

Hal ini jelas menyebutkan bahwa waduk dan sekitarnya merupakan kawasan konservasi sumber daya air yang jika dikaitkan dengan undang-undang penataan ruang merupakan kawasan lindung yang sekitarnya tidak boleh dibangun atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan peruntukkannya.

Namun ternyata areal persawahan di sekitarnya berubah jadi pemukiman, fungsi irigasi waduk Situ Gintung sudah tidak ada lagi. Pada awalnya bangunan waduk dibangun sangat kokoh, namun seiring dengan berjalannya waktu dan kegiatan manusia disekitar waduk yang tidak terkontrol menyebabkan terjadinya kerusakan-kerusakan “kecil” yang sering dianggap remeh. Selain itu dari waktu ke waktu bangunan rumah di sekitar kawasan itu semakin bertambah sehingga luasan Situ Gintung pun kian menyempit. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan dan bangunan waduk, contohnya pada tahun 2005 terjadi kerusakan persis di dekat lokasi bobolnya tanggul Situ Gintung telah dilaporkan oleh warga di sekitar waduk ke Pemda Kabupaten Tangerang. Namun laporan ini ditanggapi tidak serius, bahkan terkesan dibiarkan saja oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Benar adanya, bahwa penyalahgunaan tata ruang dan fungsi peruntukkan lahan (land-use) merupakan salah satu dari berbagai penyebab terjadinya tragedi Situ Gintung. Ini merupakan peringatan bagi kita semua untuk selalu memperhatikan dan mengawasi agar nantinya tidak terjadi penyalahgunaan tata ruang pada masa yang akan datang. Karena akibat dari penyalahgunaan tata ruang sangat merugikan serta membahayakan keselamatan jiwa manusia.

sumber :

Hukum Pranata Pembangunan

Penyalahgunaan Tata Ruang Penyebab Terjadinya Tragedi Situ Gintung

Ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia terletak dengan kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumber daya alam yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola.

Pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup.

Menimbang dari hal tersebut ditetapkan Undang-Undang tentang penataan ruang dalam UU No.24/1992 untuk mewujudkan ruang-ruang yang lebih terorganisir.

UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang mengisyaratkan agar setiap kota menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang bagi setiap kegiatan pembangunan.

Walau sudah di tetapkan sebagai undang-undang, namun masi banyak kasus yang terjadi akibat penyalahgunaan tat ruang. Salah satunya yaitu tragedi Situ Gintung.

Bangunan Waduk Situ Gintung yang dibangun 76 tahun yang lalu tepatnya tahun 1932 oleh pemerintah Belanda (ketika masih menjajah) pada saat itu sebagai salah satu alternatif pengairan untuk sawah yang masih banyak tersebar di sekitar Situ. Luas sekitar 21 ha dengan kedalaman berkisar 10 m sehingga sangat potensia untuk menampung air yang digunakan untuk pengairan sawah. Makanya di situ ada spill way (pelimpahan air).

Hal ini jelas menyebutkan bahwa waduk dan sekitarnya merupakan kawasan konservasi sumber daya air yang jika dikaitkan dengan undang-undang penataan ruang merupakan kawasan lindung yang sekitarnya tidak boleh dibangun atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan peruntukkannya.

Namun ternyata areal persawahan di sekitarnya berubah jadi pemukiman, fungsi irigasi waduk Situ Gintung sudah tidak ada lagi. Pada awalnya bangunan waduk dibangun sangat kokoh, namun seiring dengan berjalannya waktu dan kegiatan manusia disekitar waduk yang tidak terkontrol menyebabkan terjadinya kerusakan-kerusakan “kecil” yang sering dianggap remeh. Selain itu dari waktu ke waktu bangunan rumah di sekitar kawasan itu semakin bertambah sehingga luasan Situ Gintung pun kian menyempit. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan dan bangunan waduk, contohnya pada tahun 2005 terjadi kerusakan persis di dekat lokasi bobolnya tanggul Situ Gintung telah dilaporkan oleh warga di sekitar waduk ke Pemda Kabupaten Tangerang. Namun laporan ini ditanggapi tidak serius, bahkan terkesan dibiarkan saja oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Benar adanya, bahwa penyalahgunaan tata ruang dan fungsi peruntukkan lahan (land-use) merupakan salah satu dari berbagai penyebab terjadinya tragedi Situ Gintung. Ini merupakan peringatan bagi kita semua untuk selalu memperhatikan dan mengawasi agar nantinya tidak terjadi penyalahgunaan tata ruang pada masa yang akan datang. Karena akibat dari penyalahgunaan tata ruang sangat merugikan serta membahayakan keselamatan jiwa manusia.

sumber :